YERUSALEM (jurnalislam.com)— Pemerintah Israel pada bulan lalu menyetujui proyek infrastruktur kontroversial bertajuk Fabric of Life di wilayah pendudukan Tepi Barat. Proyek ini disebut-sebut sebagai skema pemisahan jalur lalu lintas antara warga Palestina dan pemukim Israel, yang pada akhirnya dapat mempercepat proses aneksasi de facto atas wilayah timur Yerusalem dan sekitarnya.
Dalam proyek tersebut, pemerintah Israel berencana membangun sistem jalan terpisah, termasuk terowongan bawah tanah khusus untuk warga Palestina. Sistem ini akan mengalihkan pergerakan warga Palestina dari wilayah Betlehem dan Hebron menuju Yerikho tanpa melalui permukiman ilegal Israel Ma’ale Adumim, sekaligus memblokir akses mereka ke wilayah strategis antara Yerusalem dan blok permukiman di sekitarnya.
Rute utara-selatan yang dirancang akan menghubungkan desa-desa Palestina seperti al-Aizariyah dan al-Za’im, namun secara efektif memisahkan masyarakat Palestina dari kota-kota lain di Tepi Barat. Mereka dipaksa melintasi jaringan terowongan, sementara akses jalan permukaan akan sepenuhnya diperuntukkan bagi warga Israel.
“Ini merupakan pendalaman signifikan dari aneksasi de facto Israel atas Area C dan Yerusalem Timur. Proyek ini memutus konektivitas Palestina dengan membatasi pergerakan mereka pada jalur-jalur sempit dan terbatas,” kata Yazan Risheq, Direktur Eksekutif Grassroots Jerusalem, kepada The New Arab, Senin (7/7/2025).
Ia menambahkan, proyek terowongan tersebut akan mengubah lanskap geografis Tepi Barat, merusak konektivitas antara wilayah utara dan selatan Palestina.
𝗗𝗮𝗺𝗽𝗮𝗸 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗠𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝗣𝗮𝗹𝗲𝘀𝘁𝗶𝗻𝗮
Proyek ini disebut-sebut akan memberikan dampak besar terhadap masyarakat Yerusalem Timur, termasuk Al-Eizariya, Abu Dis, dan Az-Za’im. Selain itu, komunitas Badui Palestina di wilayah Khan al-Ahmar dan Jabal al-Baba yang telah lama menghadapi ancaman penggusuran, juga akan terdampak secara signifikan.
Meski pihak militer Israel mengklaim bahwa proyek Fabric of Life akan meningkatkan mobilitas warga Palestina, sejumlah pengamat menilai proyek tersebut bertujuan utama untuk menghubungkan pemukiman-pemukiman Yahudi dan memastikan akses eksklusif bagi warga Israel.
“Warga Israel akan menikmati kesinambungan geografis melalui jalan bebas hambatan, sementara warga Palestina harus melalui terowongan dan jalur tidak langsung antar desa,” ujar Khalil Tafakji, Kepala Departemen Teknis di Koalisi Sipil untuk Hak-Hak Palestina di Yerusalem (CCPRJ).
𝗗𝗮𝗻𝗮 𝗗𝗶𝗮𝗺𝗯𝗶𝗹 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗢𝘁𝗼𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗣𝗮𝗹𝗲𝘀𝘁𝗶𝗻𝗮
Pembangunan proyek ini pertama kali disetujui pada tahun 2020 dan kini kembali dilanjutkan di bawah pemerintahan sayap kanan Benjamin Netanyahu. Kabinet Israel telah mengalokasikan dana sebesar USD 90 juta atau sekitar Rp1,46 triliun (kurs Rp16.250 per USD) untuk membangun sistem terowongan ini.
Yang menjadi sorotan, dana tersebut berasal dari pendapatan bea cukai milik Otoritas Palestina yang ditahan oleh Israel. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan dan layanan publik bagi masyarakat Palestina di Tepi Barat.
Tafakji menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur ini merupakan bagian dari visi lama Israel sejak 1983 melalui Road Plan No. 50, yang dirancang untuk mengendalikan pertumbuhan kota dan desa Palestina dengan membangun jalan lingkar dan membatasi perluasan permukiman lokal.
“Peta Tepi Barat sedang digambar ulang. Kota-kota Palestina tidak dapat berkembang karena tanah mereka dirampas untuk permukiman dan pos-pos ilegal,” imbuhnya.
𝗠𝗲𝗻𝘂𝗷𝘂 ‘𝗚𝗵𝗲𝘁𝘁𝗼 𝗣𝗮𝗹𝗲𝘀𝘁𝗶𝗻𝗮’
Koordinator gerakan Stop the Wall, Jamal Juma’, menilai pembangunan proyek Fabric of Life sebagai bagian dari strategi besar Israel untuk mengisolasi warga Palestina dalam kantong-kantong kecil yang menyerupai ghetto.
“Ini tentang merancang masa depan Palestina dalam ghetto-ghetto terisolasi, di tengah normalisasi Arab yang sedang berlangsung, sementara Israel memperluas hegemoninya,” kata Juma’.
Menurutnya, sejak 7 Oktober 2023, pemerintah Israel menggunakan konflik di Gaza sebagai pengalih perhatian guna mempercepat pembangunan infrastruktur dan ekspansi permukiman di Tepi Barat. Pembatasan terhadap mobilitas warga Palestina pun semakin ketat.
Data dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat, hingga Maret 2025 terdapat 849 rintangan pergerakan di seluruh Tepi Barat, yang memengaruhi mobilitas 3,3 juta warga Palestina. Rintangan tersebut mencakup 94 pos pemeriksaan permanen, 153 pos pemeriksaan parsial, 205 gerbang jalan, serta Tembok Pemisah sepanjang 712 kilometer.
𝗦𝘁𝗿𝗮𝘁𝗲𝗴𝗶 𝗔𝗻𝗲𝗸𝘀𝗮𝘀𝗶 𝗬𝗲𝗿𝘂𝘀𝗮𝗹𝗲𝗺 𝗥𝗮𝘆𝗮
Proyek Fabric of Life juga dilihat sebagai upaya lanjutan untuk merealisasikan proyek “Yerusalem Raya”, sebuah rencana ekspansi Israel yang diperkenalkan oleh mantan Perdana Menteri Ariel Sharon pada awal tahun 2000-an.
Tujuannya adalah memperluas batas Yerusalem hingga mencakup 10 persen wilayah Tepi Barat yang diduduki, serta menghubungkan Yerusalem Timur dengan permukiman ilegal di gurun dan hingga ke Lembah Yordan.
“Yerusalem Timur sudah 87 persen dikuasai Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanah-tanah disita atas nama kepentingan publik atau dijadikan kawasan hijau,” kata Tafakji.
Ia menambahkan, proyek ini merupakan percepatan dari rencana besar Tel Aviv untuk menciptakan realitas baru di lapangan: sebuah sistem infrastruktur terpisah, termiliterisasi, dan berbasis apartheid, yang mengukuhkan dominasi Israel serta mempercepat pemindahan paksa warga Palestina dari tanah air mereka. (Bahry)
Sumber: TNA